Hampir satu dekade semenjak Peter Jackson merilis seri terakhir trilogi
The Lord of the Rings,
The Lord of the Rings: The Return of the King (2003), kini sutradara
asal Selandia Baru tersebut bersiap untuk menggelar sebuah trilogi
cerita lainnya dengan mengadaptasi novel The Hobbit yang menjadi prekuel
The Lord of the Rings dari seri karya J. R. R. Tolkien.
Benar… Jackson siap untuk membuat tiga film baru berdasarkan satu novel
karya Tolkien. Rasa skeptis jelas akan membayangi banyak penonton atas
keputusan Jackson tersebut. Apakah dunia membutuhkan sebuah perjalanan
lain ke Middle Earth? Mampukah Jackson mengulangi daya tarik serta
kesuksesan kualitas berkelas dari trilogi The Lord of the Rings (2001 –
2003)? Apakah The Hobbit hanyalah sebuah proyek yang bertujuan komersial
belaka?
Berlatar belakang waktu 60 tahun sebelum dimulainya kisah The Lord of
the Rings: The Fellowship of the Ring (2001), The Hobbit: An Unexpected
Journey memulai perjalanannya dengan kisah pertemuan antara Bilbo
Baggins (Martin Freeman) dengan seorang penyihir bernama Gandalf (Ian
McKellen).
Dalam pertemuan tersebut, Gandalf meminta Bilbo turut serta melakukan
perjalanan bersama segerombolan kurcaci yang dipimpin oleh Thorin
Oakenshield (Richard Armitage) untuk merebut kembali wilayah kekuasaan
mereka di Lonely Mountain yang saat ini dikuasai oleh seekor naga yang
disebut Smaug.
Walau awalnya menolak, Bilbo akhirnya turut serta dalam perjalanan yang penuh dengan tantangan dan hambatan berbahaya tersebut.
That’s it! Tidak kurang dan tidak lebih hanya itulah plot cerita yang
terkandung dalam The Hobbit: An Unexpected Journey. Sederhana, namun
berkat tangan dingin Peter Jackson yang menulis naskah film ini bersama
dengan Fran Walsh, Philippa Boyens dan Guillermo del Toro, perjalanan
tersebut mampu hadir menjadi sebuah presentasi film sepanjang 169 menit!
Bagaimana Jackson melakukannya? Jackson memasukkan begitu banyak kisah
sejarah dan latar belakang mengenai berbagai kejadian yang berhubungan
dengan kisah utama dari The Hobbit: An Unexpected Journey, mengenalkan
karakter-karakter yang berperan penting dalam kejadian tersebut, kisah
persahabatan dan rasa saling menghargai antara para karakter yang secara
perlahan terbentuk, konflik-konflik dengan beberapa karakter luar serta
beberapa adegan yang secara tidak langsung berhubungan dengan seri
trilogi
The Lord of the Rings.
Semua orang tahu bahwa Jackson adalah seorang sutradara yang cerdas.
Meskipun adegan-adegan tersebut dihadirkan dalam durasi yang panjang dan
terkesan tidak begitu esensial, namun Jackson mampu menghubungkannya
dengan pembangunan karakter beberapa tokoh yang hadir dalam jalan cerita
film ini, khususnya karakter Bilbo Baggins.
Perjalanan karakter-karakter dalam jalan cerita film ini juga tidaklah
sedatar yang dibayangkan. Guna mengisi perjalanan panjang tersebut,
Jackson menghadirkan banyak hambatan terhadap deretan karakter
protagonisnya.
Bukanlah sebuah jenis hambatan yang baru bagi mereka yang telah familiar dengan seri
The Lord of the Rings,
namun tetap saja masih mampu dihadirkan dengan daya tarik yang kuat.
Jackson juga menghadirkan kembali beberapa karakter familiar seperti
Frodo Baggins, Gollum, Galadriel, Elrond bahkan Saruman.
Selain mampu memberikan nuansa nostalgia bagi para penggemar seri
The Lord of the Rings,
hadirnya kembali karakter-karakter tersebut juga harus diakui mampu
memberikan tambahan warna bagi jalan penceritaan The Hobbit: An
Unexpected Journey yang cenderung berjalan dengan satu nada dan warna
yang sama di sepanjang durasi penceritaannya.
Jajaran pengisi departemen akting film ini juga mampu menghadirkan
penampilan yang sangat solid. Nama-nama pemeran karakter lama seperti
Ian Holm, Ian McKellen, Andy Serkis, Elijah Wood, Hugo Weaving, Cate
Blanchett dan Christopher Lee masih mampu menghadirkan penampilan yang
benar-benar hidup dan meyakinkan pada karakter mereka.
Sama halnya dengan Martin Freeman, Lee Pace, Richard Armitage dan
deretan pemeran kurcaci lainnya yang harus rela tampil dengan diselimuti
tata rias yang membuat mereka tidak dapat dikenali.
Chemistry yang mereka hasilkan juga sangat kuat dan sekaligus
mempermudah penonton untuk lebih dapat mencerna isi perjalanan yang
mereka lakukan. Mereka yang menyaksikan The Hobbit: An Unexpected
Journey dalam format 3D juga berkesempatan untuk mendapatkan pengalaman
baru untuk menyaksikan sebuah film yang dihadirkan dalam kapasitas
format gambar 48 frame per second – atau lebih familiar dengan sebutan
48fps.
Terobosan yang dihadirkan Jackson tersebut harus diakui terasa sedikit
aneh pada awalnya: gambar yang dihadirkan menjadi (terlalu) jernih,
(terlalu) tajam dan (terlalu) berwarna. Banyak yang membandingkannnya
dengan seperti menyaksikan sajian tayangan film di layar televisi. Jauh
lebih terang daripada format gambar berteknologi 3D standar.
Penyajian gambar dalam format 48fps sendiri sama sekali tidak
berpengaruh kepada kualitas cerita yang dihadirkan. Format tersebut
kemungkinan besar hanya akan berpengaruh pada kenyamanan penonton yang
telah terbiasa untuk menyaksikan film dengan format pencahayaan yang
lebih redup.
Pun begitu, harus diakui, format gambar dalam 48fps mampu menghasilkan
gambar yang terasa lebih hidup, mewah dan nyata. The Hobbit: An
Unexpected Journey sesungguhnya bukanlah sebuah presentasi yang buruk.
Namun, jika dibandingkan dengan tiga seri
The Lord of the Rings sebelumnya, The Hobbit: An Unexpected Journey jelas terasa jauh dari kesan istimewa.
Di banyak bagian, The Hobbit: An Unexpected Journey terasa bagaikan bagian kisah yang terbuang dari seri trilogi
The Lord of the Rings karena kurang mampu menghadirkan esensi kisah yang kuat dalam jalan ceritanya.
Pun begitu, dengan kesolidan penampilan para jajaran pengisi departemen
akting film ini serta kecerdasan Peter Jackson dalam menghadirkan
tampilan visual sekaligus pengarahan ritme cerita yang kuat, adalah
cukup menarik untuk menunggu bagaimana trilogi baru ini akan berkembang
di masa yang akan datang. Sebuah perjalanan awal yang terjal dan banyak
tantangan, namun layak untuk terus dipertahankan untuk diikuti.
Sumber