So… where are we? Right! Dalam The Hobbit:
The Desolation of Smaug, Bilbo Baggins (Martin Freeman) dan Gandalf (Ian
McKellen) bersama dengan sekelompok kurcaci yang dipimpin oleh Thorin
Oakenshield (Richard Armitage) melanjutkan perjalanan mereka menuju
Lonely Mountain dengan memilih sebuah jalan pintas yakni melalui kawasan
hutan Mirkwood.
Tepat sebelum mereka memasuki kawasan hutan tersebut, Gandalf menemukan
pesan rahasia yang terdapat pada sebuah reruntuhan bangunan tua.
Penemuan tersebut membuat Gandalf memilih untuk meninggalkan Bilbo dan
kawanannya tanpa memberitahukan alasan kepergiannya. Meskipun begitu,
sebelum kepergiannya, Gandalf berpesan pada kelompok tersebut agar tetap
mengikuti jalur jalanan yang telah tersedia di kawasan hutan Mirkwood
dan menunggu kedatangan dirinya sebelum memasuki Lonely Mountain.
Setelah melalui kawasan hutan Mirkwood – dimana mereka harus menghadapi
kumpulan laba-laba berukuran raksasa, pasukan Wood Elves pimpinan
Legolas (Orlando Bloom) dan Tauriel (Evangeline Lilly) yang berusaha
untuk menangkap mereka serta para Orc yang masih berkeinginan untuk
menangkap Thorin, Bilbo dan kawanan kurcaci akhirnya tiba di kota
Esgaroth yang berada di sebelah selatan Lonely Mountain berkat bantuan
Bard the Bowman (Luke Evans).
Walau awalnya keberadaan Thorin dan kelompoknya ditolak oleh penduduk
Esgaroth, namun janji Thorin yang berkata bahwa ia akan membagi seluruh
harta yang ia dapatkan dari Lonely Mountain untuk mensejahterakan kota
tersebut membuat penduduk Esgaroth berbalik mendukung perjalanan mereka.
Dengan perlengkapan dan persenjataan yang lengkap berkat dukungan
penduduk Esgaroth, Bilbo dan kawanan kurcaci meneruskan perjalanan
mereka menuju Lonely Mountain dimana mereka akan menghadapi musuh
terbesar sekaligus paling berbahaya yang selama ini telah mereka
nanti-nantikan, Smaug (Benedict Cumberbatch).
In case you’re wondering… dua seri film
The Hobbit: An Unexpected Journey
(2012), The Hobbit: The Desolation of Smaug dan The Hobbit: There and
Back Again yang akan dirilis tahun mendatang – diadaptasi dari sebuah
buku berjudul sama karangan J. R. R. Tolkien yang pertama kali
diterbitkan pada tahun 1937 dan memiliki ketebalan sebanyak 310 halaman.
310 halaman buku diterjemahkan menjadi… well… sekitar 480 menit atau
delapan jam presentasi film.
Adalah sangat mudah untuk memberikan tuduhan bahwa Peter Jackson hanya
berusaha memperkaya dirinya sendiri melalui ketenaran tiga seri film
The Lord of the Rings Trilogy
(2001 – 2003) dengan menghasilkan tiga film dari satu sumber cerita
yang berhubungan namun sebenarnya (sangat) bisa dipadatkan menjadi satu
film dengan durasi tiga jam penceritaan.
The Hobbit: An Unexpected Journey
terasa terlalu bertele-tele akibat proses pengembangan cerita tersebut.
Sayangnya, The Hobbit: The Desolation of Smaug juga menghadapi problema
yang hampir serupa: berdurasi (sangat) panjang tanpa kehadiran alasan
yang kuat untuk mendukungnya. Sejujurnya, jika pada
The Hobbit: An Unexpected Journey
banyak yang mengeluhkan bahwa tidak banyak hal yang terjadi di
sepanjang 169 durasi menit penceritaannya, maka Jackson kali ini
menghadirkan The Hobbit: The Desolation of Smaug dengan cukup banyak
adegan aksi yang melibatkan setiap karakternya.
Jackson, tentu saja, dengan mudah mengeksekusi adegan-adegan yang akan
mampu memberikan intensitas ketegangan cerita yang cukup kuat tersebut
dengan alur cerita yang berjalan lebih cepat sekaligus bantuan efek
visual yang begitu berkelas – meskipun siapapun yang telah menyaksikan
The Lord of the Rings Trilogy telah tahu pasti presentasi visual yang seperti apa yang akan mereka dapatkan dari film ini.
Kehadiran sang naga raksasa, Smaug, juga terbukti mampu menjadi sebuah
sajian visual yang begitu mengagumkan. Paduan efek visual sekaligus
kemampuan Benedict Cumberbatch untuk memberikan gestur dan suara yang
begitu meyakinkan membuat kehadiran karakter naga yang begitu gemar
menenggelamkan dirinya dalam kumpulan emas tersebut menjadi begitu
menarik di dalam jalan cerita. Bahkan melebihi karakter-karakter
lainnya. Berbicara mengenai karakter, sayangnya, kehadiran banyak adegan
aksi dalam jalan cerita film terasa begitu mengorbankan pengembangan
karakter-karakter yang dihadirkan di sepanjang cerita.
Untuk sebuah film yang menggunakan The Hobbit sebagai judulnya, karakter
hobbit yang diwakili oleh Bilbo Baggins bahkan hampir tidak pernah
dilibatkan di dalam jalan penceritaan. Karakter Bilbo seringkali hanya
dijadikan karakter kelas dua jika dibandingkan dengan karakter pemimpin
para kurcaci, Thorin Oakenshield. Di saat yang bersamaan, karakter
Thorin Oakenshield juga merupakan sesosok karakter yang begitu sulit
untuk dapat membangun koneksi emosional dengan penonton akibat
karakterisasinya yang terlalu kelam.
The Hobbit: The Desolation of Smaug juga menghadirkan beberapa karakter
baru seperti Tauriel (Evangeline Lilly) yang begitu mampu mencuri
perhatian. Namun, potensi kisah cinta segitiga yang diemban karakternya
dengan karakter Legolas (Orlando Bloom) dan Kíli (Aidan Turner) gagal
untuk berkembang dengan baik serta terkesan begitu terpaksa untuk
dihadirkan. Ditambah dengan kehadiran kedua belas kurcaci lain yang
jelas hanya menjadi tim pendukung tanpa pernah benar-benar berfungsi
kehadirannya di dalam jalan cerita, penonton akhirnya ditinggalkan
dengan tanpa kehadiran sosok protagonis yang mampu benar-benar mereka
dukung kehadirannya.
So… yahhh… bahkan dengan kehadiran deretan adegan aksi yang mampu
dieksekusi dengan baik, tampilan visual yang tampil begitu menggiurkan
serta alur cerita yang mampu dirangkai dengan ritme penceritaan yang
lebih cepat dari seri sebelumnya, Peter Jackson sayangnya masih belum
akan mampu meredam gelombang protes yang tertuju padanya sehubungan
dengan keputusannya untuk mengadaptasi 310 halaman buku cerita The
Hobbit menjadi tiga seri film yang masing-masing berdurasi lebih dari
120 menit.
Jangan salah. The Hobbit: The Desolation of Smaug masih akan mampu
menjadi sebuah sajian yang menghibur. Namun lebih dari itu, The Hobbit:
The Desolation of Smaug jelas terasa sebagai sebuah presentasi yang
berlebihan untuk sebuah alur cerita yang dangkal. Mungkin sudah waktunya
bagi Peter Jackson untuk menyadari bahwa ia tidak akan pernah lagi
mengulang masa-masa keemasan
The Lord of the Rings Trilogy – kecuali dari sisi komersial, tentu saja.
Sumber,