Meskipun tanpa kehadiran Shia LaBeouf, Josh
Duhamel, Tyrese Gibson dan Rosie Huntington-Whiteley, seri terbaru dari
adaptasi mainan laris Hasbro ini tampaknya masih tidak banyak berubah,
semuanya karena sang “dalang” lama masih setia berada di belakang
kamera, kembali menghadirkan kehancuran dan keributan yang tidak
jauh-jauh dari pendahulunya.
Setelah sempat mengatakan emoh menukangi seri-seri masa depan
Transformers
pasca Dark of The Moon (Sebelumnya Revange of The Fallen juga), Micahel
Bay kembali menjilat ludahnya sendiri. Ya, sepertinya susah buat Bay
untuk menahan godaan besar ini sekali lagi, meskipun instalemen ke-empat
yang diberi tajuk Age of Extinction ini diproyeksikan sebagai era baru
sekaligus reboot halus buat kisah Optimus Prime dan teman-teman
Autobots-nya, sekali lagi sebenarnya tidak ada yang benar-benar baru di
Age of Extinction.
Ceritanya sendiri bersetting empat tahun setelah insiden pertempuran
besar Autobots dan Decepticons di Chicago. Setelah itu semuanya tidak
lagi sama, khususnya bagi para alien robot yang kini tidak bisa
sembarangan lagi muncul ketika pemerintah Amerika Serikat di bawah
pimpinan Harlod Attinger (Kelsey Grammer) memberlakukan aturan “Cemetery
Wind” untuk memburu tidak hanya Decepticons namun juga geng Autobots
yang tersisa dan membinasakan mereka untuk selamanya dengan bantuan
alien pemburu Transfomers, Lockdown.
Sementara di tempat lain, di pedalaman Texas ada Optimus Prime
bersembunyi dengan tenang, tetapi itu tidak lama ketika ilmuwan robot
amatir yang juga seorang single father, Cade Yeager (Mark Whalberg) yang
tinggal bersama putri tunggalnya, Tessa (Nicola Peltz) menemukan
dirinya tanpa sengaja dan memulai segala kekacauan ini.
Dengan lebel “awal baru” buat para robot luar angkasa, seperti yang
tertulis di atas sebenarnya tidak ada yang benar-benar baru di sini
kecuali jajaran cast manusianya yang dirombak habis dan hanya
meninggalkan sang kapten Optimus Prime (masih disuarakan Peter Cullen)
dan tangan kanan setianya, si kuning Bumblebee di jajaran para alien
robot.
Tentu saja sebagai penonton yang sudah mengecap semua serinya pasti
tidak berharap banyak ada sesuatu yang istimewa di Age of Extinction dan
memang kenyataan seperti itu. Dengan durasi 165 menit, Age of
Extinction menjadi terasa sangat lama, paling lama dibandingkan
seri-seri pendahulunya. Subplot percintaanya digantikan dengan hubungan
ayah-anak tidak memberi sesuatu yang benar-benar berarti di naskahnya
yang masih digarap Ehren Kruger, kualitasnya masih sama dangkalnya,
masih sama membosankannya dengan segudang plot hole menganggu.
Dan tidak lupa, selalu ada komedi di sela-sela peperangan para roboat
yang untung saja kali ini tidak sampai senorak Dark of The Moon yang
seperti ingin menjadi film komedi ketimbang aksi. Tentu saja porsi
aksinya tetap didapuk untuk menjadi daya pikat nomor satu. Bay kembali
membawa berton-ton bahan peledak yang sudah disiapkan untuk menghadirkan
momen-momen aksi spektakuler. Meskipun kali ini kehancuran Chicago
tidak sampai separah Dark of The Moon, sekuen demi sekuen pertarungan
yang melibatkan para Autobots dan robot-robot muktahir ciptaan Ilmuwan
sombong KSI, Joshua Joyce (Stanly Tucci) masih digarap fantastis bersama
efek-efek CGI yang sudah di-upgrade lebih canggih dan Hong Kong
mendapatkan ‘kehormatan’ untuk diacak-acak Michael Bay bersama
bintangnya yang tengah bersinar, Li Bingbing yang didapuk menjadi Su
Yueming untuk mengaet penonton negeri tirai bambu yang saat ini sudah
mejadi potensi besar box-office luar Amerika.
Tetapi kalau mau jujur aksi-aksi yang terjadi di Age of Extinction
sebenarnya sama membosankannya dengan narasinya, tidak ada sesuatu yang
memorable, semuanya masih sama berisiknya seperti yang pernah dihadirkan
Bay sebelumnya, dan kali ini terasa terlalu lama. Bagian terbaik Age of
Extinction dipegang oleh kehadiran para Dinobot yang keren sayang
kemunculan para Legendary Knight itu terlalu sebentar. Lalu juga
kehadiran Lockdown yang tangguh memberi keasikan teersendiri.
Sumber,